Kedaulatan Pangan (Daging) Berbasis Peternakan Rakyat*)

Aku Bertanja kepadamu, sedangkan rakjat Indonesia akan mengalami tjelaka, bentjana, malapetaka dalam waktu dekat kalau/soal makanan rakjat tidak segera dipetjahkan, sedangkan soal persediaan makanan rakjat ini bagi kita soal hidoep dan mati, kenapa kalangan-kalanganmu begitu ketjil minat untuk studie ilmu pertanian dan perchewanan?..Tjamkan, sekali lagi tjamkan, kalau tidak “aanpakkan” soal makanan rakjat ini setjara besar-besaran, setjara radikal dan revolusioner, kita akan akan mengalami malapetaka”–Soekarno1

 

Sangat ironis jika Indonesia negara yang dianugerahi potensi agraris dan maritim sangat besar, kenyataannya masih mengimpor pangan (suplai luar negeri) untuk mencukupi kebutuhan dan memberi makan rakyatnya. Padahal kedaulatan pangan (foods sovereignity)  merupakan bentuk kemandirian dan hak setiap bangsa, negara dan setiap rakyatnya untuk memproduksi pangan sendiri.

Landasan ini tercantum di UU No 18/2012 tentang pangan dimana Kedaulatan Pangan merupakan hak negara dan bangsa yang secara mandiri untuk menentukan Kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Tercatat, ada 10 komoditas pangan yang selalu diimpor yaitu : Beras, Jagung, Kedelai, Biji Gandum, Tepung Terigu, Gula pasir, Daging Ayam dan Daging Sapi, Garam, Singkong dan Kentang2.

Ketergantungan pangan yang dialami Indonesia nyata-nyatanya dipengaruhi hubungan kausal supply dan demand, dimana kebutuhan konsumsi pangan tertentu di indonesia saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan produksi dalam negeri, tak dipungkiri hal ini juga diakibatkan faktor lingkungan eksternal dimana perdagangan yang semakin terbuka sehingga tidak mungkin menghambat masuknya impor tanpa alasan yang kuat.  Menurut laporan Pencapaian Kinerja Pembangunan Periode Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I dan KIB II terbitan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)3 catatan importasi bahan pangan utama sepanjang KIB II meningkat lebih besar dibanding dengan KIB I.  Importasi yang  mencolok yang selalu mengalami kenaikan adalah importasi daging. Sejak  Tahun 2004 hingga Tahun 2010, impor daging mengalami kenaikan berturut-turut sebesar 11 ribu ton, 19 ribu ton, 24 ribu ton, 39 ribu ton, 45,6 ribu ton, 67 ribu ton, dan 90 ribu ton.

Daging merupakan satu dari lima komoditas strategis yang ditetapkan pemerintah dalam RPJMN Tahun 2010-2014.  Pemerintah tercatat sudah 3 kali periode mengusahakan swasembada daging sejak Tahun 2000 namun belum jua menunjukan keberhasilan. Permasalahan pemenuhan swasembada daging yang bersumber dari sapi lokal sebenarnya menyangkut berbagai permasalahan yang multidimensional dan kompleks mulai hulu sampai hilir dalam proses produksi daging.  Pemerintah telah menetapkan syarat untuk swasembada daging  yaitu minimal 90 % konsumsi daging sapi dipasok dari sapi domestik. Sisanya 10 % dipenuhi melalui impor, baik dalam bentuk sapi bakalan maupun daging beku. Jika berbicara mengenai kebutuhan, mengacu kepada data Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah penduduk di Indonesia sebanyak 237 juta orang, dimana 79%nya tinggal di Sumatera dan Jawa. Dengan konsumsi daging 2,38 per kg per kapita (BPS, 2013), maka kebutuhan daging di Indonesia sebanyak 565,586 ton per tahun atau setara dengan 2,99 juta ekor sapi potong lokal (asumsi rata-rata berat sapi potong lokal 350 kg dengan berat karkas 54 persen).

Produksi ternak melibatkan peternak rakyat

Untuk memenuhi ketersediaan daging nasional yang perlu diperhatikan terutama adalah produktivitas domestik yang dihasilkan atau pasokan ternak sapi. Jika bicara pasokan ternak, maka peningkatan populasi sapi merupakan syarat mutlak untuk memproduksi ternak sapi. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari permasalahan kondisi peternakan sapi potong didalam negeri yang digerakkan pada tingkat on farm oleh 2 (dua) sistem peternakan yang memiliki karakteristik berbeda, yaitu : a.peternakan rakyat (farming system); b. Perusahaan peternakan yang berorientasi pada keuntungan usaha. Saat ini, keberpihakan pada peternakan rakyat masih kurang padahal kebeprpihakan tersebut memiliki dua sisi mata uang, selain meningkatkan ketersediaan produksi ternak nasional juga meningkatkan taraf hidup 6,51 juta rumah tangga peternak.

Upaya mendorong peningkatan produksi ternak berlandaskan pada tiga prinsip yaitu: bibit, pakan dan manajemen. Dalam hal pengadaan bibit,  upaya yang dapat dilakukan dalam skala nasional diantaranya melalui upgrading genetik ternak lokal, mengimpor bibit unggul dan betina produktif, pengendalian penyakit reproduksi ternak juga disertai dengan peningkatan penelitian dan pengembangan agar produksi ternak dapat dilakukan secara masif.

Usaha pembibitan sebagai basis industri sapi potong nasional pada faktanya tidak mengalami pertumbuhan yang signifikan. Secara ekonomi, usaha pembibitan (breeding), serta pembesaran (rearing) bakalan sapi potong belum mampu menawarkan insentif pada peternak atau pelaku usaha lainnya dibandingkan dengan usaha penggemukan (fattening). Karakteristik breeding dan rearing yang memiliki siklus produksi yang relatif panjang menyebabkan turnover usaha ternak yang realtif rendah4.

Saat ini diindikasikan hampir sebagian besar proses pembibitan sapi lokal dilakukan oleh peternakan rakyat. Merujuk pada UU No.18/2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan bahwa peran perbibitan sebenarnya adalah tanggungjawab pemerintah.  Untuk itu perlu peningkatan keberpihakan pemerintah pada pembibitan ternak berbasis peternak rakyat. Pada pelaksanannya pemerintah dapat menggalakan program village breeding center yaitu mendorong desa-desa sebagai basis pembibitan ternak. Secara revolusioner untuk kepentingan jangka panjang dapat juga melibatkan (atau bahkan membentuk) BUMN untuk pengadaan bibit sapi bekerjasa sama dengan Lembaga Penelitian  yang ada.

Selain bibit, persoalan daya dukung pakanpun merupakan hal penting.  Peternak-peternak kecil hanya mampu memelihara 2-3 ekor sapi saja akibat harga pakan yang melambung tinggi. Asumsi untuk pakan hampir 70 % dari total biaya untuk beternak. Secara spasial, sumberdaya pakan berasal berbagai sumber cukup tersedia di berbagai daerah. Namun manajemen pengadaannya masih belum terarah, sehingga tidak tersedia dan terdistribusi denga harga murah5.  

Pakan yang diberikan pada ternak sapi umumnya berupa pakan hijauan dan konsentrat. Hijauan yang diberikan oleh peternak sebanyak 30 – 40 kg/ekor/hari. Jika menilik kebutuhan daging indonesia 565.586 ton pertahun dengan jumlah sapi yang perlu disediakan adalah 2,99 juta maka kebutuhan pakan pertahun yang diperlukan sebanyak 40 kg x 2,99 juta x 365 hari = 43.654.000 ton. Kebutuhan tersebut dapat diintegrasikan dengan komoditas perkebunan, diantaranya kebun sawit. Tanaman kebun sawit tersebar pada banyak provinsi dengan luas mencapai 6,6 juta hektar5.

Usaha integrasi Siska (Sapi dan Kelapa Sawit) dapat dikembangkan melalui pola kemitraan. Satu ekor sapi disumsikan sebanding dengan 6-8 ha lahan sawit. Produksi limbah sawit potensial untuk pakan (hijauan segar dan rumput/gulma = 5 ton/ha/thn). Sedangkan untuk pakan konsentrat dapat dilakukan dengan pendirian pabrik pakan konsentrat berbasis limbah sawit.

Poin terakhir adalah manajemen, jika basis produksi ternak sapi adalah peternakan rakyat maka dukungan dan kebijakan sepatutnya diarahkan kepada peternak rakyat, terlebih menurut sensus pertanian tahun 2013 rumah tangga peternak sejak  tahun 2003-2013 mengalami penurunan. Untuk itu, kebijakan pendampingan, penguatan kelembagaan, subsidi, insentif berupa pemberian kredit ringan untuk modal dan pemilikan sapi sangat berperan  untuk peningkatan intensifikasi ternak dan juga pengurangan pemotongan sapi betina produktif. Dukungan peningkatan kapasitas manajemen pengelolaan usaha budidaya peternakan perlu dilakukan mengingat sebagian besar peternak rakyat umumnya merupakan tamatan SD dan SMP. Dalam mewujudkan proses tersebut perlu diwujudkan dengan program satu desa satu penyuluh. Bahkan perlu juga dipikirkan untuk pemberian insentif lain bagi peternak lokal untuk berkelompok dan mengembangkan semacam corporate farming.

Tata Niaga Sapi

Proses tata niaga juga merupakan hal penting untuk ditelaah lebih lanjut karena berkenaan dengan nilai ekonomi sapi yang tercipta dari produsen ke konsumen dalam supply chain sapi dan daging yang dipengaruhi oleh tataran kelembagaan terutama di tingkat petani dan juga rantai pasok. Pasar atau rantai pasok sapi potong nasional serta daging sapi diindikasikan belum terstruktur dengan baik.

Beberapa hasil penelitian memperlihatkan pola saluran tataniaga di daerah sentra produksi sapi potong relatif lebih banyak melibatkan pedagang ternak sapi. Sebaliknya di daerah sentra konsumsi lebih banyak melibatkan pedagan sapi. Rantai tataniaga yang panjang sejak dari daerah produsen menyebabkan jalur tata niaga ternak sapi di daerah konsumsi menjadi relatif lebih pendek, namun rantai tataniaga produk daging6.

Di tingkat peternak, hampir 6,51 juta rumah tangga peternak belum menjadi subjek pasar (bargaining power lemah menghadapi perantara/blantik) untuk itu perlu dibentuk koperasi atau coorporate farming. Ditingkat pemerintah daerah, pembinaan tata niaga daging tidak optimal : pasar ternak dibiarkan menjadi arena rent-seeking (jual beli dengan cara taksir), Rumah Pemotongan Hewan (RPH) tidak berfungsi meningkatkan nilai tambah–bahkan dapat dimungkinkan untuk mendirikan RPH di sentra produksi agar suplay kepada konsumen lebih efisien dalam bentuk daging, selanjutnya lemahnya perlindungan pemkab/pemkot kepada konsumen dari daging yang diragukan keamanan, kesehatan, keutuhan dan kehalalannya, pungutan/retribusi tidak diimbangi  dengan pelayanan yang sepadan dan juga penetapan kuota pengeluaran sapi per kabupaten tidak integral. Terakhir, perlu juga dilakukan pengetatan terhadap pemotongan sapi betina produktif.

Sedangkan di tataran nasional, permasalahan tata niaga diindikasikan melalui tingginya harga daging di tingkat konsumen (baca : jawa), hal ini disebabkan karena sistem logistik nasional di Indonesia yang perlu masih dibenahi.  Dalam prakteknya secara ekonomis, akan lebih murah mengimpor daging sapi atau bakalan sapi dari Australia dibandingkan mendatangkannya dari NTT dan NTB atau sentra ternak lainnya.  Hal ini diperparah dengan buruknya infrastruktur dan lemahnya dukungan sistem logistik nasional. Selain itu, penggunaan kereta api sebagai sarana angkut juga dapat dioptimalkan.

Kemitraan, Kelembagaan dan Kebijakan

            Selain produksi dan tataniaga, poin penting lainnya untuk mendukung kedaulatan pangan adalah dukungan kemitraan dan juga kelembagaan baik di tingkat nasional dan juga daerah. Di tingkat petani, perlu revitalisasi KUD dan pembentukan cooperative farming sehingga kelompok tani dapat berorientasi keuntungan. Penguatan lembaga ini seyogyanya dapat meningkatkan posisis tawar petani dan peternak.

Di tingkat nasional, perlu pembenahan adanya kebijakan peran pelaku usaha sapi potong dalam kemitraan. Misalnya: bagi pengusaha penggemukan sapi potong impor harus melakukan kemitraan sekurang-kurangnya 10% dari sapi yang diimpor diplasmakan untuk mendorong transfer knowledge dari perusaaan kepada peternak dan juga dalam konteks kemitraan untuk jaminan pasar, dan fasilitas kredit untuk pengusaha wajib menyerap produksi sapi lokal minimal 10%. Bagi pelaku usaha importir daging diwajibkan melakukan penyerapan daging sapi lokal sekurangnya 10% dan melakukan pembinaan RPH4. Selain kemitraan di bibit dan budidaya, perlu juga mendorong peningkatan kemitraan dengan perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam usaha perkebunan (BUMN) guna pemenuhan kebutuhan pakan sapi. Hal ini dapat dilakukan bertahap, namun jika ingin magnitudenya lebih luas perlu dibentuk BUMN yang mengelola penyediaan bibit, daging dan industri sapi potong alih-laih sebagai BUMN yang juga mengelola masalah pangan maupun penelitan dan pengembangannya.

            Terakhir, pentingnya menyiapkan kebijakan-kebijakan yang pro-peternak rakyat dan kebijakan-kebijakan yang memudahkan pengembangan usaha peternakan rakyat. Dalam konteks untuk membantu mencapai tujuan tersebut di atas,  diperlukan kebijakan alternatif yang lebih fleksibel dan prediktif dan dapat memenuhi good governance yang baik berlandaskan fakta dilapangan.   

Bahan bacaan :

1 Pidato Soekarno dalam peletakan batu pertama fakultas pertanian IPB Tahun 1952. Azahari. Membangun Kemandirian Pangan Dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan Nasional. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 6 No.2, Juni 2008.

2Ini 10 Bahan Pangan yang Masih Diimpor RI. http://finance.detik.com. Diakses tanggal 06/06/2014

 

3 Tujuh bahan pangan ini rajin diimpor selama era SBY.http://www.merdeka.com. Diakses tanggal 06/06/2014.

 

4 Tawaf, Setiadi, Daud, Restrukturisasi Agribisnis Sapi Potong Menujukesejahteraan Peternak. 2011. Laboratorium Ekonomi Peternakan Fapet Unpad. Lembaga Studi Pembangunan Peternakan Indonesia.

5 Ilham, Saliem. 2011. Kelayakan finansial sistem integrasi sawit-sapi melalui program kredit usaha pembibitan sapi. Analisis Kebijakan Pertanian. Kementan.

6 Ilham. Kebijakan Pengendalian harga daging sapi nasional.  Analisis Kebijakan Pertanian Vol. 7 Tahun 2009.

*) Oleh Apriana Susaei, pembelajar.

Leave a comment