Arah Baru Pembangunan Pertanian

(Sebuah Kajian melalui perspektif teori Modernisasi dan Dependesia) 

Kajian Teori Modernisasi

Teori Modernisasi muncul dengan latar belakang ketika negara maju yang dimotori Amerika Serikat menganjurkan negara dunia ketiga untuk melakukan transformasi nilai-nilai tradisional dengan cara mengikuti dan meniru nilai budaya, teknologi serta menggantungkan bantuan dan utang dari Amerika. Indonesia adalah temasuk negara dunia ketiga yang menyusun pola pembangunan nasionalnya bersamaan dengan perkembangan teori-teori pembangunan yang berlangsung di negara-negara maju. Modernisasi yang lahir di Barat cenderung mengarah ke Westernisasi, memiliki tekanan yang kuat meskipun unsur-unsur tertentu dalam kebudayaan asli negara ketiga dapat selalu eksis, namun setidaknya akan muncul ciri kebudayaan Barat dalam kebudayaannya (Schoorl, 1988). Modernisasi yang masuk melalui change agents, akan cenderung kepada homogenisasi sistem ekonomi, sehingga pada akhirnya modernisasi, pembangunan, dan kapitalisme satu sama lain akan memiliki arti yang semakin konvergen.

Ciri-ciri pokok perspektif modenisasi adalah :

  1. Modernisasi merupakan proses bertahap.
  2. Modernisasi juga merupakan proses homogenisasi.
  3. Modernisasi juga terkadang mewujud dalam bentuk lahirnya, sebagai proses eropanisasi atau amerikanisasi.
  4. Modernisasi juga dilihat sebagai proses yang tidak bergerak mundur.
  5. Modenisasi merupakan perubahan progresif.
  6. Modernisasi memerlukan waktu panjang.

Implikasi Teori Modernisasi  terhadap kebijakan pembangunan dunia ketiga adalah pemberian legitimasi tentang perlunya bantuan asing. Sehingga pada akhirnya kebutuhan universal investasi produktif dan pengenalan nilai-nilai modern bergerak dari negara maju menuju  negara ketiga.  Dunia ketiga selalu identik dengan negara terbelakang dengan masyarakat tradisionalnya. Begitupun pembangunan ekonomi, indonesia masih termasuk dalam negara yang pembangunan ekonomi pertaniannya secara tradisional terutama di perdesaaan.

Bagi negara pertanian dimana sebagian besar rakyatnya juga berprofesi sebagai petani maka pemenuhan kebutuhan pangan dilakukan dengan memacu serta mengandalkan kemampuan produksi domestik. Strategi dan kebijakan ini dilakukan oleh semua negara kuat dan besar di dunia. Bahkan di negara seperti Amerika Serikat melakukan kebijakan sistem menyeluruh dari pelayanan fasilitas pembangunan pertanian sebagai pusat ekonomi sebelum negara kuat. Pemerintah Amerika pada waktu itu memainkan peranan besar dalam mendorong pembangunan termasuk pembangunan teknologi dan infrastruktur dalam menunjang pertanian1.

Pengamatan empiris menunjukkan bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat mencapai tahapan tinggal landas (take-off) menuju pembangunan ekonomi berkelanjutan yang digerakkan oleh sektor indistri dan jasa berbasis ilmu dan teknologi modern tanpa didahului dengan pencapaian tahapan pembangunan sektor pertanian yang handal. Sektor pertanian yang handal merupakan prasyarat bagi pembangunan sektor industri dan jasa.

Indonesia masih tergantung dalam permodalan untuk pembangunan termasuk membangun sektor pertanian, walaupun disisi lain potensi lumbung pangan dunia masih dimiliki Indonesia. Hal ini sejalan dengan teori Rostow yang mempengaruhi aliran modernisasi bahwa ada lima tahapan pembangunan ekonomi, yaitu mulai dari tahapan masyarakat tradisional, prakondisi tinggal landas, tahapan tinggal landas, dan kematangan pertumbuhan dan berakhir pada tahap masyarakat dengan konsumsi massa tinggi. Selanjutnya Rostow menganjurkan dalam  pembangunan dunia ketiga jika ingin mencapai pertumbuhan otonom dan berkelanjutan negara tersebut harus mampu melakukan mobilisasi seluruh kemampuan modal dan sumber daya alamnya sehingga mampu mencapai tingkat investasi produktif sebesar 10 %. Salah satu dana ivestasi yang dapat diperoleh adalah dari perdagangan internasional. Pendapatan devisa dari kegiatan ekspor dapat digunakan untuk mendatangkan teknologi asing dan peralatannya.  Menurut Sumawinata, syarat untuk mencapai lepas landas pada perekonomian di indonesia syarat pertumbuhan yang tinggi atas suatu atau lebih cabang industri sentral dan tumbuh kembangnya kerangka sosial politik yang mampu menyerap dinamika perubahan masyarakat dibandingkan dengan perlunya tingkat investasi produkti dari pendapatan nasional.

Pembangunan pertanian di Indonesia mengalami perubahan dari waktu ke waktu, seiring dengan perubahan zaman. Pembangunan Pertanian di Indonesia sebenarnya sudah dimulai ketika dibentuk Departemen Pertanian pada tahun 1905 atau sejak jaman kolonial Belanda, sejak tahun tersebut terbentuklah balai-balai penyuluhan di Indonesia yang merangsang kegiatan-kegiatan pertanian secara modern mengikuti pola-pola pertanian dari negara eropa. Secara keseluruhan perspektif modernisasi telah ditetapkan sebagai model pembangunan pertanian di Indonesia salah satunya melalui introduksi program revolusi hijau, sebagai suatu strategi untuk menimbulkan perubahan sosial di pedesaan jawa. Revolusi hijau sebenarnya suatu program intensifikasi tanaman pangan yang membawa ide modernisasi. Perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat dalam beberapa hal antara lain dalam hal pengelolaan tanah, penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk, penggunaan sarana produksi dan pengaturan waktu panen. Disamping penerapan teknologi, ide modernisasi juga terlihat dalam hal mengatur kelembagaan produksi. Selanjutnya muncul pula pola pengembangan revolusi hijau dalam bentuk esktensifikasi, dan diversifikasi. Pelaksanaan program Revolusi Hijau kecenderungan selalu diikuti dengan pola pertanian yang berbasis kimia yang juga disebut modernisasi pertanian seperti pengenalan mesin, irigasi, dan pemberian pupuk kimia berdosis tinggi.

Pada masa tahun 1970-an kebijakan pangan nasional dalam GBHN yang mengarahkan ketahanan pangan Indonesia dicapai melalui pemanfaatan sumberdaya alam, kelembagaan dan budaya lokal serta memperhatikan kesejahteraan petaninya. Pada tahun 1980-an harus diakui Indonesia saat itu mampu untuk berswasembada beras, kemudian pada dekade tahun tersebut juga pemerintah indonesia menerapkan kebijakan BIMAS untuk komoditas-komoditas tertentu di bidang pertanian. Saat ini lebih dari 40 % tenaga kerja di Indoensia bekerja di sektor pertanian dan memberikan kontibusi pada sektor perkonomian, baik secara langsung maupun tidak langsung yang sangat menentukan ketahanan pangan pangan di Indonesia.

Pada khakikatnya, pengaruh modernisasi pertanian di indonesia setidaknya menimbulkan permasalahan :

  • Penggunaan pupuk kimia dan pupuk sintetik yang diperkenalkan oleh pemerintahan orde baru menimbulkan pencemaran lingkungan tanah, sedangkan pola tanam masyarakat yang ramah tamah terhadap lingkungan semakin terkikis.
  • Perubahan pertanian yang variety of-crop (menanam aneka ragam tanaman pangan) menjadi monocrop (menanam satu tanaman pangan), menimbulkan ketergantungan petani terhadap satu komoditas dan rusaknya habitat maupun serangan hama penyakit. Sementara dilain pihak konsumen tidak memiliki pilihan untuk mengkonsumsi keberagaman tersebut.
  • Hilangnya budaya yang telah mengakar di Indonesia seperti budaya gotongroyong dalam menggarap sawah digantikan oleh deru mesin handtraktor, dan telah menghilangkan peran perempuan dalam sistem pertanian yang telah menjadi bidangnya di pedesaan.
  • Adanya mekanisasi pertanian secara tidak langsung menimbulkan efek urbanisasi, tenaga pertanian yang mengandalkan tenaga individual beralih menjadi tenaga kerja di perkotaan.

Kajian Teori Dependensia

Jika teori modernisasi lebih merupakan produk Amerika Serikat, akar teori dependesia tertanam di negara dunia ketiga. Dengan hampir sepenuhnya mendasarkan dari pada rumusan teori neomarxis, teori dependensi (ketergantungan) merumuskan hubungan natara negara barat dengan negara dunia ketiga sebagai hubungan yang dipaksakan, eksploitatif, ketergantungan. Oleh karena itu teori dependensi mengajukan sarannya kepada negara dunia ketiga utnuk melpaskan hubungan dan keterkaitannya dengan negara barat, jika negara dunia ketiga hendak mencapai pembangunan yang independen dan otonom.

Teori ketergantungan ini menganggap ketergantungan sebagai gejala yang sangat umum ditemui pada negara-negara dunia ketiga, disebabkan faktor eksternal, lebih sebagai masalah ekonomi dan polarisasi regional ekonomi global (Barat dan Non Barat, atau industri dan negara ketiga), dan kondisi ketergantungan adalah anti pembangunan atau tak akan pernah melahirkan pembangunan. Terbelakang adalah label untuk negara dengan kondisi teknologi dan ekonomi yang rendah diukur dari sistem kapitalis.

Asumsi dasar teori dependensi klasik adalah sebagai berikut :

  • Keadaan ketergantungan dilihat sebagai suatu gejala yang sangan umum, berlku bagi seluruh negara dunia ketiga.
  • Ketergantungan dilihat sebagai kondisi yang diakibatkan oleh faktor luar.warisan sejarah kolonial dan pembagian kerja internasional yang timpang bertanggungjawab terhadap kemandekan pembangunan negara dunia ketiga.
  • Ketergantungan dilihat sebagai suatu hal yang mutlak bertolak belakang dengan pembangunan. Pembangunan yang otonom dan berkelanjutan hampir dapat dikatakan tidak mungkin dalam situasi yang terus menerus terjadi pemindahan surplus ekonomi ke negara maju.

 Selanjutnya Santos (1970) menyatakan, bahwa ada tiga bentuk keterantungan, yaitu: ketergantungan kolonial, ketergantungan industri keuangan, dan ketergantungan teknologi industri. Pada ketergantungan kolonial, negara dominan, yang bekerja sama dengan elit negara tergantung, memonopoli pemilikan tanah, pertambangan, tenaga kerja, serta ekspor

barang galian dan hasil bumi dari negara jajahan. Indonesia telah mengalami kondisi seperti ini selama tiga abad lebih, yaitu ketika pemerintahan kolonial Belanda bekerjasama dengan para bupati dan kerajaan-kerajaan mengeruk hasil bumi, baik dengan program “Tanam Paksa” maupun pajak tanah, sehingga para petani tetap tinggal dalam kesengsaraan yang panjang.

Sejarah mengatakan, kolonialisme di Indonesia atau nusantara pada jaman dulu dimulai dari penjajajahan di sektor perdagangan/ekonomi terutama ekonomi yang berbasis pada pertanian. Sejak jaman tersebut indonesia/nusantara mengalami dominasi asing, sekalipun teori modernisai memiliki asumsi, bahwa negara dunia ketiga telah secara formal terbebas dari kolonilisme, negara dunia ketiga seara ekonomis, politis maupun budaya tetap berada dalam dominasi barat. Lewat model satelit-metropolis dijelaskan bagaimana mekanisme ketergantungan lahir dimasa kolonial, ketika penjajah membangun kota-kota di negara dunia ketiga dengan maksud untuk memfasilitasi proses pengambilan surplus ekonomi untuk negara barat. Menurut Frank, kota-kota di negara dunia ketiga ini menjadi satelit dari metropolis di barat.

Lebih lanjut Dos santos menyatakan bahwa pembangunan industri di dunia ketiga mempunyai batasan struktural yaitu :

  • Pembangunan industri akan bergantung pada kemampuan ekspor.
  • Akibat lebih jauh dari ketergantungan pada perolehan devisa, pembangunan industri di negara dunia ketiga akan sangat dipengaruhi oelh fluktuasi neraca pembayaran internasional, yang cenderung untuk defisit.
  • Pembangunan industri sangat kuat dipengaruhi oleh monopoli teknologi negara maju.

Ketimapangan yang terjadi akibat ketergantungan teknologi industri adalah :

  • Ketimpangan pembangunan yang selama ini lebih terlihat pada tingkat internasional akan mewujud secara lebih nyata pada tingkat regional dan nasional. Ini tampak pada perbedaan struktur produksi antara sektor ekspor “tradisional” yang menghasilkan produk pertanian dan sektor “modern” pada tempat mana teknologi dan sumberdaya keuangan terpusat.
  • Kombinasi penggunaan teknologi padat modal dan melimaph serta murahnya tenaga kerja mengakibatkan terjadinya perbedaan tajam dari berbagai tingkat upah domestik.
  • Ketimpangan struktur produksi juga membawa akibat pada keterbatasan berkembangnya pasar domestik negara dunia ketiga.

Dampak dari ketergantungan ini terhadap dunia ketiga adalah ketimpangan pembangunan, ketimpangan kekayaan, eksploitasi tenaga kerja, serta terbatasnya perkembangan pasar domestik negara dunia ketiga itu sendiri.  Indonesia sampai saat ini masih bergantung kepada teknologi dari negaranegara maju. Dalam bidang pertanian, kita masih lemah misalnya dalam teknologi perbenihan dan sarana produksi (pestisida). Di lain pihak indonesia juga masih menggantungkan beberapa komoditas pangan kepada negara lain, dengan kata lain indonesia saat ini masih melakukan impor.

Tabel 1. Posisi Indonesia dalam impor pangan dunia

  Komoditas Impor (dalam ribu ton)
Rataan 5 tahun terakhir Beras Jagung Kedelai Daging Gula
437,99 962,24 1.180,55 13,60 822,76
           
Peringkat 13 22 11 33 2

Sumber : Harian Kompas, senin 28 September 2009

Data dari harian kompas mengatakan Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun ini lebih mengutamakan impor terutama untuk komoditas yang memiliki tingkat konsumsi tinggi seperti gula, kedelai dan beras. Komoditas ini tidak bisa dipungkiri menjadi komoditas terdepan untuk diimpor karena memiliki permintaan yang tinggi dari konsumen tanpa disertai dengan produksi dalam negeri yang tinggi. Data harian yang sama menunjukan bahwa kebijakan impor dilakukan karena ada ketimpangan target dan capaian yang ditetapkan sehingga impor dilakukan untuk menjamin kontuinitas pasokan dan menekan biaya trasportasi produk pertanian.

Tabel 2. Produksi 5 Komoditas Utama Pertanian 2007-2008

  Komoditas Impor (dalam ribu ton)
  Beras Jagung Kedelai Daging Gula
Target 2007 58,18 juta 13,53 juta 0,95 juta 416.000 2,66 juta
Target 2008 60,50 juta 16,20 juta 1,30 juta 428.000 2,74 juta
           
Capaian 2007 57,16 juta 13,29 juta 0,59 juta 413.000 2,45 juta
Capaian 2008 60,28 juta 15,86 juta 0,77 juta 421.000 2,80 juta
  5,46 % 19,20 % 30,51 % 0,67 % 14,28 %

Sumber : Harian Kompas, Sabtu 29 Agustus 2009

 Sesuai dengan teori Dos santos, fakta dilapangan adanya ketimpangan struktur produksi terutama di bidang pertanian juga membawa akibat pada keterbatasan berkembangnya pasar domestik negara dunia ketiga dalam hal ini Indonesia. Kebijakan impor pangan Indonesia telah mengkibatkan keluarnya devisa negara sebanyak Rp. 50 Trilliun untuk mengimpor sejumlah komoditas pangan setiap tahunnya atau mencapai 5 persen dari APBN. Tetapi adanya potensi konsumen yang ditunjukan dengan peningkatan julah penduduk malah mengkibatkan indonesia justru menjadi negara importir.

Kemandirian Pangan

Kebijakan impor ini sebenarnya bisa dieliminir dengan berbagai kebijakan yang berpihak pada kemandirian, walaupun  disatu sisi membutuhkan modal dan investasi yang cukup tinggi yang lagi-lagi hanya bisa didapatkan secara “instan” dengan pinjaman luar negeri, adapun dana ini biasanya digunakan untuk pembangunan infrastruktur pertanian seperti irigasi dan lain sebagainya, dana-dana ini berasal dari lembaga donor seperti World Bank dan IDB (Islamic Development Bank), atau G to G (Government to government). Investasi pangan saat ini diarahkan pada negara yang memiliki lahan dan kecukupan air sehingga Indonesia dinyatakan layak untuk menjadi lumbung pangan, salahsatunya Indonesia. Investasi di sektor pertanian dibagi menjadi kelompok besar yaitu : usaha peranian rakyat, usaha pertanian swasta, dan pemerintah. Salahsatu indikator swasta adalah persetujuan investasi di sektor bersangkutan selama periode tahun 2004-2005 persetujuan investasi swasta di sektor pertanian lewat PMDN tumbuh sebesar 126 % dan lewat PMA tumbuh sebesar 122 % (BKPM , 2006) . Angka ini menunjukkan bahwa dalam periode waktu itu sektor pertanian merupakan tujuan yang relatif menguntungkan dibanding sektor perekonomian lainnya.

Jika teori meodernisasi menganjurkan untuk menjalin hubungan yang lebih dekat, yang tercermin pada upaya untuk memperoleh lebih banyak bantuan keuangan, teknologi, budaya dan sebagainya dari negara barat  teori dependesi menganjurkan hal sebaliknya. Sebagai ganti dari ketergantungan terhadap modal asing dan teknologi, negara pinggiran seharusnya menganut model pembangunan berdiri diatas kaki sendiri (a self-reliance model), secara khusus dalam bidang pertanian di jabarkan melalui kemandirian pangan, artinya negara pinggiran tidak boleh didominasi negara sentral tetapi dibandung melalui transaksi perdagangan yang aktif diantarnya keduanya dalam perspektif teori dependesi.

Indonesia perlu menyusun strategi pembangunan industri pertanian yang terietgrasi dengan sektor lain. Jika tidak indonesia hanya akan menjadi penampung produk olahan dari begara-negara anggota G-20. Tanpa arah pembangunan yang jelas indonesia akan terjebak dalam jeratan impor. Indoensia harus mampu segera menyusun strategi pembangunan industri pertanian yang terintegrasi dengan sektor keuangan, jasa, perdagangan industri dan infrastruktur. Pertanian kedepan harus ditempatkan sebagai landasan pembangunan ekonomi bukan sebagai lokomotif, sehingga diperlukan landasan yang kuat untuk mendorong pembangunan ekonomi di Indonesia. Lebih lanjut sekor pertanian harus mampu menghubungkan petani dengan pasar dan adanya dukungan makroekonomi misalnya melalui manajemen suku bungan yang memihak pertanian dan kombinasi diplomasi ekonomi.

Penangangan kemandirian pangan relaitf berbeda antara satu komoditas pangan dan komoidtas lainnya. Secara umum, saat ini salah satu upaya untuk mencapai kemandirian perlu subsidi transportasi hasil pertanian. Salah satu contoh empiris kemandirian pangan adalah peningkatan produksi jagung dalam negeri sangat menguntungkan industri pakan karena tidak perlu impor. Sementara untuk komoditas daging dan susu perlu peningkatan populasi dan termasuk memberikan subsidi bunga kredit untuk usaha pembibitan sapi, kemudia juga perlunya mengintegrasikan pengembangan riset off farm seperti pengadaan bibit, pupuk, dan obat-obatan sampai pengelolaan lahan dan air.

 Daftar Pustaka

1 Stiglitz. ZE dalam Pambudy Rachmat, Ketahanan Pangan dalam sistem dan usaha agribisnis : pemberdayaan petani dan organisasi petani. 2008. Artikel

Suwarsono, dan So, Alvins Y.2004. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Penerbit PT. Pustaka LP3ES Indonesia. Jakarta.

Schoorl, J.W. 1988. Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara Sedang Berkembang. PT Gramedia, Jakarta.

Syafa’at, Nizwar, dkk. 2007 . Indikator Makro Pertanian Indonesia. Prosiding: Kinerja dan prospek pertanian indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Balitbang Pertanian.  Bogor

Leave a comment